Tabiat manusia adalah tidak ma’sum (suci) dari kesalahan dan berbuat dosa, kecuali Rasulullah Saw. Disamping itu musuhnya pun sangat banyak. Salah satunya adalah hawa nafsu yang tinggal didalam diri manusia, yang senantiasa menghiasi kejahatan sehingga terlihat baik dan menyuruh untuk melakukannya. Di antara musuh yang lain adalah syetan baik dari golongan manusia dan golongan jin. Yang selalu menggiring manusia menuju sumber-sumber kebinasaan dan selalu menghalangi dari jalan menuju Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّ بَنِي آدَمُ خَطَاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Artinya : ‘Setiap anak turun adam mempunyai kesalahan dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan ialah orang yang bertaubat’ (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darimi).
Akan tetapi ada sebuah masalah yang harus kita perhatikan yaitu keyakinan bahwa Istighfar hanya dengan lisan. Hanya cukup mengucapkan “ASTAGHFIRULLAH” (Aku memohon ampun kepada Allah) saja, namun tidak ada pengaruh didalam hatinya dan amalan kesehariannya.
Fudhail bin Iyadh berkata : “Beristighfar tanpa meninggalkan perbuatan dosa adalah tobatnya para pendusta”.
Ada seorang yang sholeh mengatakan bahwasanya orang yang beristighfar namun tidak meninggalkan kemaksiatan maka istighfarnya itu perlu di Istighfari, mengapa? Karena pada hakekatnya istighfarnya tersebut memasukkan ia kedalam golongan para pendusta yang beristighfar hanya dilesan saja sementara tetap melakukan kemaksiatan.
Hasan Al-Basri berkata : “Perbanyaklah beristighfar di rumah-rumah kalian, di meja-meja kalian, dijalan-jalan kalian, dipasar-pasar kalian, dan dimajlis-majlis kalian! Sebab, kalian tidak tahu kapan ampunan Allah akan turun”.